Selamat Menunaikan Ibadah Puasa 1434 H

Mohon Maaf Lahir Dan Batin.

Foto Bersama Penari Binaan IKPM SUMSEL

Saat Tampil Pada Pringatan Hari Pendidikan Nasional Yang Diselenggarakan DIKTI.

Menjadi Pemateri

Saat Penerimaan Mahasiswa Baru UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Penyerahan Piala Begilir Kepada Komisariat OKU Selatan Sebagai Juara Umum

Pada HUT IKPM SUMSEL Ke-36 di Balai Sriwijaya Yogyakarta

Pages

Minggu, 03 Juni 2012

Jangan Korban Iklan


Menjelang musim penerimaan mahasiswa baru, berbagai kampus sibuk menggalang simpati calon mahasiswa baru (Maba), termasuk lewat jasa iklan. Perguruan Tinggi menggunakan iklan karena dianggap efektif menjaring Maba. Baik itu iklan melalui koran, televisi, radio, spanduk, baliho, pamflet, brosur, facebook, dan media sosial lain.
Namun begitu, Maba mesti tetap berhati-hati. Karena tak jarang iklan yang ditampilkan berbeda dengan kenyataan. Kebanyakan iklan melalui media sosial menghipnotis pembaca atau Maba dengan berbagai godaan-rayuan iklan. Entah itu iming-iming beasiswa, lapangan kerja, fasilitas lengkap dimiliki kampus, suasana kondusif belajar, dan masih banyak lagi yang tertulis dalam iklan.
Tujuan iklan itu adalah mempengaruhi, mengajak, dan bahkan merubah sikap Maba. Dalam pemahaman sederhana, iklan itu diharapkan bisa menjaring Maba sebanyak-banyaknya agar masuk di Perguruan Tinggi tersebut. Di titik ini, kompetisi dan perang iklan antara kampus guna merebut Maba terjadi.
Dalam konteks itu, Maba mesti berhati-hati. Sikap kritis harus dikedepankan. Jangan sampai menjadi korban iklan kampus. Pasalnya, iklan kampus, sesungguhnya tidak merepresentasikan konteks sosial secara menyeluruh terhadap PT tersebut. Iklan hanya bersifat sempalan dan tidak kolektif mewakili keadaan sebenarnya di dalam kampus.
Dalam arti lain, iklan itu hanya bagian kecil dari realitas kampus yang ditampilkan. Maka dari itu, Maba jangan mudah percaya dulu dan memakan mentah-mentah isi yang disajikan dalam iklan PT. Ada kalanya iklan itu benar, tapi tak cukup mewakili keseluruhan kenyataan kampus. Namun, sisi lain, tak jarang iklan itu dapat menipu hanya untuk mendapatkan Maba sebesar-besarnya dan meraup keuntungan secara ekonomi dari Maba.
Meninjau kebenaran iklan dengan paradigma dan pendekatan kritis adalah sikap cerdas agar Maba tak tertipu dengan gombalan iklan kampus. Maksudnya, Maba dan orang tua siswa jangan percaya sepenuhnya pada iklan kampus sebelum meninjau langsung keadaan sebenarnya di dalam kampus tersebut.
Mempelajari secara utuh realitas kampus yang diinginkan, bukan saja lewat iklan, tapi entah itu berkunjung langsung di kampus tersebut, atau mendapat informasi dari orang lain—merupakan cara efektif memilih PT yang tepat dan diinginkan. Dengan begitu, calon Maba dan orang tua siswa tidak mudah termakan rayuan gombal iklan kampus.

Agus Syahputra* Ketua Umum IKPM Sumsel Yogyakarta 2012-2014
Diterbitkan di Kedaulatan Rakyat Peduli Pendidikan Tanggal, 02 Juni 2012

Kampus Rakyat

Istilah kampus rakyat tidak saja menjadi idiom tanpa makna. Istilah tersebut menjadi penanda akan suatu harapan masyarakat. Yakni, kampus yang dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang kelas ekonomi. Dalam hal ini, prinsip keadilan dalam memperoleh pendidikan pada setiap warga negara mesti dijalankan Perguruan Tinggi.
Amanah mulai itu sesungguhnya telah termaktub pula dalam konstitusi negara kita. Pada pasal 31 ayat 1 UUD 1945, menyebutkan setiap warga negara berhak mengeyam pendidikan layak. Itu artinya, pendidikan tidak melihat perbedaan. Maksud sederhana, siapa pun dia dan dari mana pun asalnya, berhak mendapatkan pendidikan layak di republik ini.
Akses keterbukaan pendidikan itu, dapat menjadi alternatif atau pertimbangan bagi mahasiswa baru dalam menentukan kampus yang akan menjadi tempat menimba ilmu. Pasalnya, makna kampus rakyat begitu luas dan bermaksud mulia. Dalam arti, kampus tersebut tidak saja diperuntukkan pada setiap orang dengan memperoleh hak yang sama. Melainkan, makna kampus rakyat juga dapat berarti kampus itu mesti mengabi pada kepentingan masyarakat, kemanusian, dan bangsa.
Simbolisme kampus rakyat begitu penting. Selain untuk memberikan pemaknaan bahwa dalam pendidikan tidak mengenal kastanisasi dan status sosial, lebih dari itu makna tersebut dapat pula menepis egoisme dan arogansi PT yang tak jarang hanya berada di menara gading intelektual.
Artinya keberadaan PT di tengah masyarakat tidak dirasakan begitu penting. Itu terjadi karena PT lebih mengisolasi diri dan hanya mementingkan kebutuhan sivitas akademika tanpa peduli pada kepentingan lingkungan sosial. Padahal, secara ideal, eksistensi PT tidak seperti itu. Dalam Tri Dharma PT, disebutkan, selain sivitas akademika mampu mengembangkan pengetahuan di bidang penelitian, dan ilmu pengetahuan, pengabdian pada masyarakat merupakan tugas mulia kampus yang jangan sampai dilupakan PT.
Itulah pentingnya simbolisme kampus rakyat secara luas. Kampus yang dapat diakses semua kalangan. Lembaga pendidikan yang tidak memandang kasta. Karena begitulah keberadaan PT. Pertimbangan itulah, hemat penulis yang dapat menjadi alasan pula bagi mahasiswa baru dalam memilih PT yang tepat.

Agus Syahputra* Ketua Umum IKPM SUMSEL Yogyakarta 2012-2014.
Diterbitkan di Suara Merdeka tanggal, 26 Mei 2012

Senin, 21 Mei 2012

UN dan Marginalisasi Difabel


Belum lama pelaksanaan Ujian Nasional 2012 dilaksanakan dan menyisahkan ruang kritik-reflektif. UN berlangsung sejak 16 sampai 19 April bagi SMA dan sederajat, SMP/MTs mulai 23-26 April, maupun SD dari tanggal 7-9 Mei, jika dianalisis dengan jeli masih meninggalkan sejumlah persoalan pelik. Bukan saja kejujuran masih menjadi ongkos mahal dalam UN, tapi praktik diskriminasi dan pengebirian terhadap kelompok minoritas seperti difabel masih terjadi di tengah problematika UN.
Tak hanya aspek teknis semata penyelenggaraan UN dirasa tak adil pada difabel. Secara konseptual pun UN meninggalkan benang kusut pendidikan pada difabel. Pelaksanaan UN yang seragam dan menjadi barometer kelulusan siswa sebagaimana ditermaktub dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 59 tahun 2011, tak saja rumit bagi pelajar normal secara fisik. Tapi, terhadap siswa difabel beban ganda dirasakan ketika UN berlangsung.
Kita tahu, pemangku kebijakan pendidikan negeri ini belum memberikan perhatian penuh pada  difabel dalam menempuh pendidikan secara wajar. Artinya masih terdapat praktik diskriminasi serta peminggiran hak warga negara dalam sistem pembelajaran pendidikan. Perhatian khusus dalam bentuk fasilitas belajar, semisal guru khusus mendampingi difabel, alat belajar seperti huruf Braille, fasilitas teknologi yang dirancang untuk difabel—sarana pendukung belajar difabel itu terbilang cukup minim disediakan sekolah dan pemerintah.
Ini bentuk ketidakadilan dirasakan difabel dalam menempuh pendidikan formal di sekolah. Padahal amanah konstitusi jelas dan tegas mengatakan keadilan menempuh pendidikan harus dapat diwujudkan dan dirasakan siapa pun warga negara tanpa melihat kedudukan sosial maupun kondisi fisik siswa.
Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945, dari ayat 1 sampai 5 menegaskan bahwa, setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan pemerintah wajib merealisasikan amanah konstitusi itu. Bahkan untuk mencapai tujuan UUD 1945 tersebut alokasi anggaran sebesar dua puluh persen dari APBN menjadi wajib dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan pelaksanaan pendidikan.
Sayang, amanat konstitusi itu hanya manis dalam teks. Realisasinya masih terjadi ketimpangan pendidikan dan diskriminasi terhadap warga negara. Bukan saja warga miskin yang masih sukar mengakses pendidikan formal akibat kendala biaya pendidikan mahal, namun ketidakadilan lain terjadi pada difabel yang notabene juga pemilik sah bangsa ini.
Sejak awal belajar dan mencicipi manisnya bangku sekolah hingga mengikuti Ujian Akhir Nasional, kebanyakan difabel merasakan ketidakadilan dalam menempuh dunia pendidikan. Keberpihakkan sekolah dan pemerintah dalam mendukung proses menuntut ilmu mereka masih dirasakan minim oleh difabel. Dalam belajar, tak jarang difabel dipandang sebagai siswa normal yang mampu menjalankan peraturan dan atau birokrasi sekolah secara wajar.
Meskipun para difabel tak meminta diperlakukan istimewa dan mengharap belas kasih orang lain, namun, sejatinya mereka juga membutuhkan perlakuan khusus dpihak sekolah dan pemerintah karena keterbatasan fisik dimiliki. Apalagi ketika menghadapi UN seperti sekarang ini, di mana momen itu begitu krusial karena sangat menentukan nasib mereka. Tentu tak mudah bagi difabel mencapai target maksimal angka 5,5 apabila ingin lulus di tengah daya dukung sekolah maupun pemerintah yang masih tergolong minim.
Hal itu terlihat jelas dalam UN 2012 ini. Di Karanganyar misal, ditemukan soal UN yang beredar di sekolah-sekolah semua sama. Dalam arti lain, penyeragaman soal menunjukkan bahwa hak-hak difabel yang semestinya dihormati dan dihargai serta diwujudkan pemerintah namun justru hal itu diabaikan.
Tentu pemerintah tak bisa mengambil kebijakan sembrono seperti itu. Apa bisa difabel mengerjakan soal UN seperti siswa lain yang secara fisik normal? Jawabannya tentu tidak. Siswa normal secara fisik pastinya dapat mengerjakan soal UN yang dibuat pemerintah. Tapi, bagi difabel mereka membutuhkan soal bentuk lain yang sesuai dengan kebutuhan belajar mereka.
Maka dalam konteks itu dibutuhkan kebijakan khusus pemerintah dalam memberikan soal UN terhadap difabel. Seperti pada tahun sebelumnya di mana soal UN disediakan fasilitas huruf Braille sehingga memudahkan kaum difabel mengerjakan test UN. Tapi, ironinya pada UN tahun ini fasiltas itu tak lagi didapatkan difabel sehingga membuat Bupati Karanganyar Rina Iriani kesal dan membuat surat protes pada Mendikbud Muhammad Nuh.
Kita tak berharap lagi pemerintah membuat kebijakan yang terkesan mendeskreditkan difabel. Apa pun kondisi fisik difabel, mereka tetap warga negara yang punya hak sama dengan siswa normal lain. Difabel juga belum tentu lebih buruk dibanding siswa normal lain. Toh,telah banyak difabel mengukir prestasi dan mengharumkan nama negeri dan mengangkat harkat dan martabat bangsa melalui dunia pendidikan. DePorter (2007), mengatakan satu hal penting dalam pendidikan adalah membangun rasa cinta pada siswa. (Abdul Rahmat, 2010). Untuk itu, sudahi diskriminasi terhadap difabel. 



Agus Syahputra* Ketua Umum IKPM SUMSEL Yogyakarta 2012-2014.

Senin, 14 Mei 2012

Trik Jitu Memilih Kampus


Memilih kampus bagi calon mahasiswa baru gampang susah. Kadang antara idealisme dengan kenyataan berbeda. Namun, ada kala idealisme dengan kenyataan mudah dikompromikan. Begitulah dinamika dihadapi calon mahasiswa baru memilih Perguruan Tinggi diinginkan.
Hemat penulis, sebelum memilih kampus, ada baik ditata dulu niat. Artinya, dari awal kita sudah memiliki keinginan, memilih PT tersebut karena orientasi ke depan mau menjadi A misal. Niat ini penting. Karena dari situ, membuka titik terang kampus mana yang cocok seperti diharapkan.
Ketika niat itu sudah ditata dan menemukan kampus yang cocok, menurut penulis, calon Maba tidak hanya berhenti sampai di situ. Proses selektif memilih PT sebagaimana diidealkan dilakukan. Dalam arti, calon Maba mesti melihat lebih jauh bagaimana dinamika ilmiah, dan kultur akademik serta kekuatan jaringan alumni yang sudah dihasilkan kampus tersebut.
Dalam menilai internal kampus cukup sederhana. Calon Maba dapat melihat atau bertanya pada siapa pun yang mengerti pada kampus dituju, bagaimana kultur ilmiah berkembang dalam kampus itu. Indikator sederhana dapat menjadi pijakan calon Maba mengambil kesimpulan tepat pada kampus diharapkan adalah seberapa kuat tradisi ilmiah di PT tersebut. Misal, budaya akademik, membaca, diskusi, menulis, berorganisasi—hidup, maka usul penulis pilihlah kampus itu. Tradisi ilmiah ini mesti dipraktikkan civitas akademika, mahasiswa, dosen, bahkan karyawan, baik dalam ruang formal, nonformal, dan informal di kampus.
Penguatan kultur ilmiah dalam kampus akan mempengaruhi impian atau cita-cita awal Anda masuk PT. Artinya jika Anda mengikuti dengan aktif tradisi ilmiah di kampus, maka itu akan menjadi kendaraan Anda mewujudkan cita-cita diinginkan. Tanpa melakukan hal ini, bukan maksud mendahului kehendak Sang Pencipta, tapi berdasarkan pengalaman, pengamatan, dan penelitian, banyak mahasiswa kandas harapannya hanya karena ia tak aktif mengikuti tradisi ilmiah kampus.
Selain cara ini, ada hal lain yang juga menjanjikan suatu harapan mewujudkan cita-cita di kampus. Yakni soal kekuatan jaringan alumni. Ada banyak pengangguran sarjana akibat kelemahan jaringan alumni PT. Menurut data BPS, pada 2011 saja jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,7 juta orang atau 6,56 persen dari total angkatan kerja. Pengangguran itu terjadi selain masalah personal, faktor dominan lain karena kelemahan jaringan alumni yang dimiliki kampus. Maka, carilah PT yang jaringan alumni kuat. Itulah trik jitu memilih kampus.

Agus Syahputra* Ketua Umum IKPM SUMSEL Yogyakarta 2012-2014.

Jumat, 13 April 2012

Catatan (Kritis) Sekolah Antikorupsi


          Masyarakat dan penulis menyambut baik program pendidikan antikorupsi yang dipelopori Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bersama KPK. Gagasan ini menjadi tumpuan harapan publik terhadap pemerintah dan lembaga terkait untuk mencegah dan bahkan dapat mengurangi kejahatan korupsi yang menjadi common enemy (musuh bersama) bangsa ini.
     Tapi, hemat penulis, ide itu masih perlu dioptimalkan baik secara konseptual maupun praktis. Artinya, catatan kritis konstruktif penting dikedepankan agar sekolah antikorupsi tak bersifat momentuman, setengah hati, dan menguap sejalan dengan wacana korupsi meredup dan institusi antikorupsi kehilangan taring maupun inkonsisten dengan apa yang sudah digagas akibat berbagai tekanan (politik).
     Dalam benak penulis, apakah ide pendidikan antikorupsi bisa berjalan optimal. Mengingat, gagasan itu tak independen dilakukan Mendikbud. Artinya, dalam realisasinya Mendikbud menggandeng KPK. Kolaborasi ini sesungguhnya tak jadi soal. Namun, yang jadi masalah apabila pimpinan kedua lembaga ini (baca: Mendikbud dan KPK) berganti sejalan dengan habisnya masa jabatan.
       Sebagai pemimpin, Muhammad Nuh dan Abraham Samad, keduanya mungkin memiliki visi atau misi yang sama, paling tidak dalam komitmen memberantas korupsi. Tapi, yang jadi perkara, apakah komitmen kepemimpinan Pak Nuh dan Abraham dalam memberangus koruptor, akan dimiliki pemimpin selajutnya pengganti keduanya. Mengingat, gagasan pendidikan antikorupsi belum tentu berjalan maksimal periode Pak Nuh atau Abraham saja. Dibutuhkan konsistensi melanjutkan ide dan kepemimpinan tersebut bila ingin pendidikan antikorupsi sesuai harapan. Inilah yang mesti dipikirkan kedua pimpinan lembaga itu.
       Catatan lain sekolah antikorupsi. Ada hal yang dalam pikiran penulis mengganjal terkait aplikasi sekolah antikorupsi. Yakni, tak independennya kurikulum anti korupsi yang dirumuskan. Dengan bahasa lain, rumusan kurikulum setengah hati karena masih digabung dengan materi lain. Padahal, jika kita berkaca pada Universitas Paramadina, kurikulum anti korupsi dibuat sendiri dengan 2 SKS, tanpa digabung materi lain.
 Semoga catatan (kritis) penulis ini dapat didengar, syukur-syukur direalisasikan pihak terkait. Sebab, kita semua punya komitmen sama, yakni memangkas praktik koruptif di negeri ini. Pendidikan antikorupsi menjadi pintu masuk dalam memberantas perilaku menyimpang tersebut. Karena itu, sekolah antikorupsi perlu dioptimalkan.

Agus Syahputra* Ketua Umum IKPM SUMSEL Yogyakarta 2012-2014.

Minggu, 18 Maret 2012

Waspadai Jurnal Abal-abal


      KEKHAWATIRAN insan akademik terhadap munculnya jurnal abal-abal sebagai konsekuensi logis kebijakan publikasi jurnal ilmiah adalah sesuatu yang tak dapat dihindari. Sesungguhnya, adanya jurnal abal-abal bukanlah hal diharapkan, tapi bukan tak mungkin itu dapat muncul jika benar kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ini jadi direalisasikan Agustus 2012.
       Respons munculnya jurnal abal-abal tak dapat diabaikan karena adanya faktor mendasar. Selain karena masih rendahnya budaya menulis, minimnya jurnal ilmiah yang ada di Indonesia juga menjadi pemicu. Karena jumlahnya sedikit, secara otomatis jurnal itu tak dapat menampung ribuan karya ilmiah mahasiswa dari tingkat SI sampai jenjang S3.
        Berdasarkan data Ditjen Dikti 2010, di Indonesia, dari 121 jurnal yang terakreditasi Ditjen Dikti, hanya ada dua jurnal ilmiah yang terakreditasi A, dan 26 jurnal ilmiah terakreditasi B. Bahkan menurut Dirjen Dikti, terbitan jurnal ilmiah Indonesia masih sepertujuh dari jurnal ilmiah Malaysia.
Keminiman jurnal ilmiah, dikhawatirkan tak dapat memenuhi kebutuhan perguruan tinggi dengan jumlah ribuan mahasiswa.
       Berdasarkan data Ditjen Dikti, saat ini terdapat 114 perguruan tinggi negeri dan 301 perguruan tinggi swasta. Dengan jumlah PT dan ribuan mahasiswa serta masih sedikitnya jurnal ilmiah terakreditasi tentu menyulitkan calon sarjana agar karyanya dapat dimuat di jurnal tersebut.
Dan mau tidak mau, mereka harus berkompetisi dengan ketat bersama calon sarjana lain agar karya ilmiahnya diterbitkan di jurnal (terakreditasi) ójika ingin lulus. Apalagi mahasiswa program magister dan doktor tantangannya tentu lebih kuat. Khusus program doktor, mereka wajib menguasai bahasa Inggris, tak hanya lisan tapi juga tulisan, bila ingin karya ilmiahnya dapat dipublikasikan di jurnal internasional.
       Di tengah kompetisi ketat ditambah minimnya jumlah jurnal ilmiah, apalagi yang terakreditasi Dikti, maka prediksi akan marak jurnal abal-abal suatu saat pasti akan terbukti. Ini patut dipikirkan Kemendibud. Harapannya, stakeholders pendidikan tak hanya fokus pada penetapan kebijakan jurnal ilmiah tapi luput perhatian akan maraknya jurnal abal-abal.
      Jika perhatian itu terabaikan Kemendibud, maka kebijakan jurnal ilmiah berujung paradoks. Artinya, harapan akan peningkatan mutu pendidikan nasional, menghindari praktik plagiasi, akan sia-sia. (24)

Agus Syahputra* Ketua Umum IKPM SUMSEL Yogyakarta 2012-2014.
Terbit Pada Suara Merdeka tanggal 17 Maret 2012
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/03/17/180475/Waspadai-Jurnal-Abal-abal

Rabu, 14 Maret 2012

Ironi Demokrasi Kampus


Kultur kampus kini banyak berubah. Parahnya perubahan itu justru berimbas pada eksistensi mahasiswa. Yakni keberadan mahasiswa yang mulai melempem terhadap situasi sosial yang terjadi di sekitaranya. Gerakan reformasi 1998 yang telah merubah jalan sejarah bangsa ini dan menunjukkan taring mahasiswa, tapi kilas balik sejarah itu kini kurang begitu berarti.
Padahal pasca peristiwa bersejarah itu, negeri ini sejatinya memasuki babak baru perjalanan sejarah sebuah bangsa. Jika di fase sebelumnya, rezim pembungkaman berjalan tanpa ada yang sanggup menghadang, tapi era reformasi telah membawa slogan mulia yang dikehendaki seluruh rakyat Indonesia, yakni demokrasi dan kebebasan.

Cita-cita demokrasi dan prinsip kebebasan di mana seluruh masyarakat memiliki kesadaran kolektif yakni mempunyai hak yang sama dalam menentukan nasib pribadi dan bangsanya dengan tetap berpegang pada norma dan etika berhembus di mana-mana, termasuk dalam dunia kampus yang dinamis. Bahkan, prinsip-prinsip demokrasi, yakni kebebasan menyatakan pendapat dijamin dalam konstitusi, yaitu UU No 9 tahun 1998.
 Di dalam dunia kampus misalnya, semangat demokrasi berjalan dalam potret kegiatan kemahasiswaan. Contoh: mahasiswa diberikan kebebasan melakukan berbagai kritik, pendapat, masukan terhadap berbagai problematika kampus yang terjadi. Tidak hanya itu saja, semangat demokrasi kampus terwujud dalam aksi demonstrasi mahasiswa, adanya pemilu/pemilwa mahasiswa untuk memilih ketua/presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), penggunaan istilah Presiden Mahasiswa yang di masa Soeharto kata “Presiden” hanya boleh digunakan oleh orang nomor wahid pada zaman Orba itu dan masih banyak lagi.
Sayang, prinsip demokrasi kampus yang telah berjalan lama itu, kini mulai dinodai dengan berbagai kebijakan birokrasi kampus yang sangat represif. Di Universitas Islam Negeri (UIN) Makassar misalnya, jika ditemukan (aktivis) mahasiswa melakukan aksi demonstrasi, pimpinan kampus/rektor dan jajarannya tak segan-segan memberikan sangsi tegas pada mahasiswa, baik berupa teguran hingga kebijakan DO (drop out).
Sementara itu, kita pun masih ingat di Yogyakarta—tepatnya di kampus Universitas Gajah Mada (UGM) terjadi pengebirian peran gerakan mahasiswa. BEM UGM melakukan demo terhadap kebijakan rektor yang memberlakukan biaya parkir kampus. Bagi mahasiswa yang melakukan aksi, kebijakan kampus itu dinilai sebagai wujud komersialisasi kampus. Artinya, segala hal yang dimiliki kampus, termasuk ruang publik oleh pemangku kebijakan di kampus itu ingin dibisniskan sebagai imbas dari adanya Badan Hukum Pendidikan (BHP). Tentunya, tindakan itu menjadi tamparan dunia pendidikan bukan saja bagi UGM yang dikenal sebagai kampus rakyat, tapi juga bagi institusi pendidikan negeri ini yang sudah mengarah kepada bentuk komersialisasi.
Di lain pihak, aksi demo tersebut oleh para stakeholders di kampus UGM, direspon secara “represif”, mirip dengan gaya Soeharto ketika ia berupaya memangkas peran politik mahasiswa di kampus. Yakni, meminta kepada presiden BEM UGM untuk menyerahkan nama-nama mahasiswa yang melakukan gerakan demonstrasi tersebut. Parahnya lagi, apabila nama-nama aktivis kampus yang ikut demo itu tak diserahkan pada rektor maka pihak birokrasi tidak akan memberikan dana bagi kegiatan kemahasiswaan.
Pertanyaannya, mengapa kebebasan berpendapat di kampus masih saja dilarang di tengah iklim reformasi yang menyatakan kebebasan itu dijamin konstitusi? Mengapa pula kampus bersikap anti kritik? Sungguh ironi, di saat iklim zaman demokrasi menuntut mahasiswa untuk berani menyatakan pendapatnya, tapi di saat yang sama pengebirian peran politik mahasiswa berlangsung di pelbagai kampus.
 Pada konteks inilah, penulis sekadar mengingatkan saja pada beberapa kampus yang masih bertindak represif dengan gerakan mahasiswa. Kita tentu masih ingat betul dalam memori kolektif bangsa ini akan peran mahasiswa yang sangat urgen dalam menentukan sebuah perubahan. Ketika mahasiswa ditindas, dengan segenap idealisme dan semangat perjuangan yang tinggi agen perubahan bangsa ini pasti akan melakukan perlawanan. Ingat tragedi penumbangan rezim Orde Lama (Orla) Soekarno, peristiwa Malapetaka Sebelas Januari (Malari) 1974, masalah NKK/BKK di mana mahasiswa dituntut oleh rezim agar back to campus dan tak ikut-ikut aktivitas politik, tragedi reformasi 1998—rentetan sejarah ini semua dipelopori (aktivis) mahasiswa.
Maka, sangat mengherankan sekali jika di era reformasi sekarang ini ruang gerak mahasiswa masih saja dikungkung dengan berbagai aturan birokrasi yang kaku. Apalagi, kebijakan itu justru dikeluarkan oleh pihak kampus yang semestinya bersikap kooperatif terhadap segala perbedaan pendapat dengan civitas akademika, termasuk dengan para demonstan mahasiswa.

Agus Syahputra* Ketua Umum IKPM SUMSEL Yogyakarta 2012-2014.