KEKHAWATIRAN insan akademik terhadap munculnya jurnal abal-abal sebagai konsekuensi logis kebijakan publikasi jurnal ilmiah adalah sesuatu yang tak dapat dihindari. Sesungguhnya, adanya jurnal abal-abal bukanlah hal diharapkan, tapi bukan tak mungkin itu dapat muncul jika benar kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ini jadi direalisasikan Agustus 2012.
Respons munculnya jurnal abal-abal tak dapat diabaikan karena adanya faktor mendasar. Selain karena masih rendahnya budaya menulis, minimnya jurnal ilmiah yang ada di Indonesia juga menjadi pemicu. Karena jumlahnya sedikit, secara otomatis jurnal itu tak dapat menampung ribuan karya ilmiah mahasiswa dari tingkat SI sampai jenjang S3.
Berdasarkan data Ditjen Dikti 2010, di Indonesia, dari 121 jurnal yang terakreditasi Ditjen Dikti, hanya ada dua jurnal ilmiah yang terakreditasi A, dan 26 jurnal ilmiah terakreditasi B. Bahkan menurut Dirjen Dikti, terbitan jurnal ilmiah Indonesia masih sepertujuh dari jurnal ilmiah Malaysia.
Keminiman jurnal ilmiah, dikhawatirkan tak dapat memenuhi kebutuhan perguruan tinggi dengan jumlah ribuan mahasiswa.
Berdasarkan data Ditjen Dikti, saat ini terdapat 114 perguruan tinggi negeri dan 301 perguruan tinggi swasta. Dengan jumlah PT dan ribuan mahasiswa serta masih sedikitnya jurnal ilmiah terakreditasi tentu menyulitkan calon sarjana agar karyanya dapat dimuat di jurnal tersebut.
Dan mau tidak mau, mereka harus berkompetisi dengan ketat bersama calon sarjana lain agar karya ilmiahnya diterbitkan di jurnal (terakreditasi) ójika ingin lulus. Apalagi mahasiswa program magister dan doktor tantangannya tentu lebih kuat. Khusus program doktor, mereka wajib menguasai bahasa Inggris, tak hanya lisan tapi juga tulisan, bila ingin karya ilmiahnya dapat dipublikasikan di jurnal internasional.
Di tengah kompetisi ketat ditambah minimnya jumlah jurnal ilmiah, apalagi yang terakreditasi Dikti, maka prediksi akan marak jurnal abal-abal suatu saat pasti akan terbukti. Ini patut dipikirkan Kemendibud. Harapannya, stakeholders pendidikan tak hanya fokus pada penetapan kebijakan jurnal ilmiah tapi luput perhatian akan maraknya jurnal abal-abal.
Jika perhatian itu terabaikan Kemendibud, maka kebijakan jurnal ilmiah berujung paradoks. Artinya, harapan akan peningkatan mutu pendidikan nasional, menghindari praktik plagiasi, akan sia-sia. (24)
Agus Syahputra* Ketua Umum IKPM SUMSEL Yogyakarta 2012-2014.
Terbit Pada Suara Merdeka tanggal 17 Maret 2012
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/03/17/180475/Waspadai-Jurnal-Abal-abal
Agus Syahputra* Ketua Umum IKPM SUMSEL Yogyakarta 2012-2014.
Terbit Pada Suara Merdeka tanggal 17 Maret 2012
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/03/17/180475/Waspadai-Jurnal-Abal-abal
0 komentar:
Posting Komentar