Pages

Rabu, 14 Maret 2012

Ironi Demokrasi Kampus


Kultur kampus kini banyak berubah. Parahnya perubahan itu justru berimbas pada eksistensi mahasiswa. Yakni keberadan mahasiswa yang mulai melempem terhadap situasi sosial yang terjadi di sekitaranya. Gerakan reformasi 1998 yang telah merubah jalan sejarah bangsa ini dan menunjukkan taring mahasiswa, tapi kilas balik sejarah itu kini kurang begitu berarti.
Padahal pasca peristiwa bersejarah itu, negeri ini sejatinya memasuki babak baru perjalanan sejarah sebuah bangsa. Jika di fase sebelumnya, rezim pembungkaman berjalan tanpa ada yang sanggup menghadang, tapi era reformasi telah membawa slogan mulia yang dikehendaki seluruh rakyat Indonesia, yakni demokrasi dan kebebasan.

Cita-cita demokrasi dan prinsip kebebasan di mana seluruh masyarakat memiliki kesadaran kolektif yakni mempunyai hak yang sama dalam menentukan nasib pribadi dan bangsanya dengan tetap berpegang pada norma dan etika berhembus di mana-mana, termasuk dalam dunia kampus yang dinamis. Bahkan, prinsip-prinsip demokrasi, yakni kebebasan menyatakan pendapat dijamin dalam konstitusi, yaitu UU No 9 tahun 1998.
 Di dalam dunia kampus misalnya, semangat demokrasi berjalan dalam potret kegiatan kemahasiswaan. Contoh: mahasiswa diberikan kebebasan melakukan berbagai kritik, pendapat, masukan terhadap berbagai problematika kampus yang terjadi. Tidak hanya itu saja, semangat demokrasi kampus terwujud dalam aksi demonstrasi mahasiswa, adanya pemilu/pemilwa mahasiswa untuk memilih ketua/presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), penggunaan istilah Presiden Mahasiswa yang di masa Soeharto kata “Presiden” hanya boleh digunakan oleh orang nomor wahid pada zaman Orba itu dan masih banyak lagi.
Sayang, prinsip demokrasi kampus yang telah berjalan lama itu, kini mulai dinodai dengan berbagai kebijakan birokrasi kampus yang sangat represif. Di Universitas Islam Negeri (UIN) Makassar misalnya, jika ditemukan (aktivis) mahasiswa melakukan aksi demonstrasi, pimpinan kampus/rektor dan jajarannya tak segan-segan memberikan sangsi tegas pada mahasiswa, baik berupa teguran hingga kebijakan DO (drop out).
Sementara itu, kita pun masih ingat di Yogyakarta—tepatnya di kampus Universitas Gajah Mada (UGM) terjadi pengebirian peran gerakan mahasiswa. BEM UGM melakukan demo terhadap kebijakan rektor yang memberlakukan biaya parkir kampus. Bagi mahasiswa yang melakukan aksi, kebijakan kampus itu dinilai sebagai wujud komersialisasi kampus. Artinya, segala hal yang dimiliki kampus, termasuk ruang publik oleh pemangku kebijakan di kampus itu ingin dibisniskan sebagai imbas dari adanya Badan Hukum Pendidikan (BHP). Tentunya, tindakan itu menjadi tamparan dunia pendidikan bukan saja bagi UGM yang dikenal sebagai kampus rakyat, tapi juga bagi institusi pendidikan negeri ini yang sudah mengarah kepada bentuk komersialisasi.
Di lain pihak, aksi demo tersebut oleh para stakeholders di kampus UGM, direspon secara “represif”, mirip dengan gaya Soeharto ketika ia berupaya memangkas peran politik mahasiswa di kampus. Yakni, meminta kepada presiden BEM UGM untuk menyerahkan nama-nama mahasiswa yang melakukan gerakan demonstrasi tersebut. Parahnya lagi, apabila nama-nama aktivis kampus yang ikut demo itu tak diserahkan pada rektor maka pihak birokrasi tidak akan memberikan dana bagi kegiatan kemahasiswaan.
Pertanyaannya, mengapa kebebasan berpendapat di kampus masih saja dilarang di tengah iklim reformasi yang menyatakan kebebasan itu dijamin konstitusi? Mengapa pula kampus bersikap anti kritik? Sungguh ironi, di saat iklim zaman demokrasi menuntut mahasiswa untuk berani menyatakan pendapatnya, tapi di saat yang sama pengebirian peran politik mahasiswa berlangsung di pelbagai kampus.
 Pada konteks inilah, penulis sekadar mengingatkan saja pada beberapa kampus yang masih bertindak represif dengan gerakan mahasiswa. Kita tentu masih ingat betul dalam memori kolektif bangsa ini akan peran mahasiswa yang sangat urgen dalam menentukan sebuah perubahan. Ketika mahasiswa ditindas, dengan segenap idealisme dan semangat perjuangan yang tinggi agen perubahan bangsa ini pasti akan melakukan perlawanan. Ingat tragedi penumbangan rezim Orde Lama (Orla) Soekarno, peristiwa Malapetaka Sebelas Januari (Malari) 1974, masalah NKK/BKK di mana mahasiswa dituntut oleh rezim agar back to campus dan tak ikut-ikut aktivitas politik, tragedi reformasi 1998—rentetan sejarah ini semua dipelopori (aktivis) mahasiswa.
Maka, sangat mengherankan sekali jika di era reformasi sekarang ini ruang gerak mahasiswa masih saja dikungkung dengan berbagai aturan birokrasi yang kaku. Apalagi, kebijakan itu justru dikeluarkan oleh pihak kampus yang semestinya bersikap kooperatif terhadap segala perbedaan pendapat dengan civitas akademika, termasuk dengan para demonstan mahasiswa.

Agus Syahputra* Ketua Umum IKPM SUMSEL Yogyakarta 2012-2014.

0 komentar:

Posting Komentar