Pages

Jumat, 13 April 2012

Catatan (Kritis) Sekolah Antikorupsi


          Masyarakat dan penulis menyambut baik program pendidikan antikorupsi yang dipelopori Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bersama KPK. Gagasan ini menjadi tumpuan harapan publik terhadap pemerintah dan lembaga terkait untuk mencegah dan bahkan dapat mengurangi kejahatan korupsi yang menjadi common enemy (musuh bersama) bangsa ini.
     Tapi, hemat penulis, ide itu masih perlu dioptimalkan baik secara konseptual maupun praktis. Artinya, catatan kritis konstruktif penting dikedepankan agar sekolah antikorupsi tak bersifat momentuman, setengah hati, dan menguap sejalan dengan wacana korupsi meredup dan institusi antikorupsi kehilangan taring maupun inkonsisten dengan apa yang sudah digagas akibat berbagai tekanan (politik).
     Dalam benak penulis, apakah ide pendidikan antikorupsi bisa berjalan optimal. Mengingat, gagasan itu tak independen dilakukan Mendikbud. Artinya, dalam realisasinya Mendikbud menggandeng KPK. Kolaborasi ini sesungguhnya tak jadi soal. Namun, yang jadi masalah apabila pimpinan kedua lembaga ini (baca: Mendikbud dan KPK) berganti sejalan dengan habisnya masa jabatan.
       Sebagai pemimpin, Muhammad Nuh dan Abraham Samad, keduanya mungkin memiliki visi atau misi yang sama, paling tidak dalam komitmen memberantas korupsi. Tapi, yang jadi perkara, apakah komitmen kepemimpinan Pak Nuh dan Abraham dalam memberangus koruptor, akan dimiliki pemimpin selajutnya pengganti keduanya. Mengingat, gagasan pendidikan antikorupsi belum tentu berjalan maksimal periode Pak Nuh atau Abraham saja. Dibutuhkan konsistensi melanjutkan ide dan kepemimpinan tersebut bila ingin pendidikan antikorupsi sesuai harapan. Inilah yang mesti dipikirkan kedua pimpinan lembaga itu.
       Catatan lain sekolah antikorupsi. Ada hal yang dalam pikiran penulis mengganjal terkait aplikasi sekolah antikorupsi. Yakni, tak independennya kurikulum anti korupsi yang dirumuskan. Dengan bahasa lain, rumusan kurikulum setengah hati karena masih digabung dengan materi lain. Padahal, jika kita berkaca pada Universitas Paramadina, kurikulum anti korupsi dibuat sendiri dengan 2 SKS, tanpa digabung materi lain.
 Semoga catatan (kritis) penulis ini dapat didengar, syukur-syukur direalisasikan pihak terkait. Sebab, kita semua punya komitmen sama, yakni memangkas praktik koruptif di negeri ini. Pendidikan antikorupsi menjadi pintu masuk dalam memberantas perilaku menyimpang tersebut. Karena itu, sekolah antikorupsi perlu dioptimalkan.

Agus Syahputra* Ketua Umum IKPM SUMSEL Yogyakarta 2012-2014.

0 komentar:

Posting Komentar