Masyarakat dan penulis menyambut baik program pendidikan
antikorupsi yang dipelopori Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bersama KPK.
Gagasan ini menjadi tumpuan harapan publik terhadap pemerintah dan lembaga
terkait untuk mencegah dan bahkan dapat mengurangi kejahatan korupsi yang
menjadi common enemy (musuh bersama) bangsa ini.
Tapi, hemat penulis, ide itu masih perlu dioptimalkan baik secara
konseptual maupun praktis. Artinya, catatan kritis konstruktif penting
dikedepankan agar sekolah antikorupsi tak bersifat momentuman, setengah hati,
dan menguap sejalan dengan wacana korupsi meredup dan institusi antikorupsi
kehilangan taring maupun inkonsisten dengan apa yang sudah digagas akibat
berbagai tekanan (politik).
Dalam benak penulis, apakah ide pendidikan antikorupsi bisa
berjalan optimal. Mengingat, gagasan itu tak independen dilakukan Mendikbud.
Artinya, dalam realisasinya Mendikbud menggandeng KPK. Kolaborasi ini
sesungguhnya tak jadi soal. Namun, yang jadi masalah apabila pimpinan kedua
lembaga ini (baca: Mendikbud dan KPK) berganti sejalan dengan habisnya masa
jabatan.
Sebagai pemimpin, Muhammad Nuh dan Abraham Samad, keduanya mungkin
memiliki visi atau misi yang sama, paling tidak dalam komitmen memberantas
korupsi. Tapi, yang jadi perkara, apakah komitmen kepemimpinan Pak Nuh dan
Abraham dalam memberangus koruptor, akan dimiliki pemimpin selajutnya pengganti
keduanya. Mengingat, gagasan pendidikan antikorupsi belum tentu berjalan
maksimal periode Pak Nuh atau Abraham saja. Dibutuhkan konsistensi melanjutkan
ide dan kepemimpinan tersebut bila ingin pendidikan antikorupsi sesuai harapan.
Inilah yang mesti dipikirkan kedua pimpinan lembaga itu.
Catatan lain sekolah antikorupsi. Ada hal yang dalam pikiran
penulis mengganjal terkait aplikasi sekolah antikorupsi. Yakni, tak
independennya kurikulum anti korupsi yang dirumuskan. Dengan bahasa lain,
rumusan kurikulum setengah hati karena masih digabung dengan materi lain.
Padahal, jika kita berkaca pada Universitas Paramadina, kurikulum anti korupsi
dibuat sendiri dengan 2 SKS, tanpa digabung materi lain.
Semoga catatan (kritis) penulis ini dapat didengar,
syukur-syukur direalisasikan pihak terkait. Sebab, kita semua punya komitmen
sama, yakni memangkas praktik koruptif di negeri ini. Pendidikan antikorupsi
menjadi pintu masuk dalam memberantas perilaku menyimpang tersebut. Karena itu,
sekolah antikorupsi perlu dioptimalkan.
Agus Syahputra*
Ketua Umum IKPM SUMSEL Yogyakarta 2012-2014.