Belum lama pelaksanaan Ujian Nasional 2012 dilaksanakan dan
menyisahkan ruang kritik-reflektif. UN berlangsung sejak 16 sampai 19 April
bagi SMA dan sederajat, SMP/MTs mulai 23-26 April, maupun SD dari tanggal 7-9
Mei, jika dianalisis dengan jeli masih meninggalkan sejumlah persoalan pelik.
Bukan saja kejujuran masih menjadi ongkos mahal dalam UN, tapi praktik
diskriminasi dan pengebirian terhadap kelompok minoritas seperti difabel masih
terjadi di tengah problematika UN.
Tak hanya aspek teknis semata penyelenggaraan UN dirasa tak adil
pada difabel. Secara konseptual pun UN meninggalkan benang kusut pendidikan
pada difabel. Pelaksanaan UN yang seragam dan menjadi barometer kelulusan siswa
sebagaimana ditermaktub dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 59
tahun 2011, tak saja rumit bagi pelajar normal secara fisik. Tapi, terhadap
siswa difabel beban ganda dirasakan ketika UN berlangsung.
Kita tahu, pemangku kebijakan pendidikan negeri ini belum
memberikan perhatian penuh pada difabel dalam menempuh pendidikan
secara wajar. Artinya masih terdapat praktik diskriminasi serta peminggiran hak
warga negara dalam sistem pembelajaran pendidikan. Perhatian khusus dalam
bentuk fasilitas belajar, semisal guru khusus mendampingi difabel, alat belajar
seperti huruf Braille, fasilitas teknologi yang dirancang untuk
difabel—sarana pendukung belajar difabel itu terbilang cukup minim disediakan
sekolah dan pemerintah.
Ini bentuk ketidakadilan dirasakan difabel dalam menempuh
pendidikan formal di sekolah. Padahal amanah konstitusi jelas dan tegas
mengatakan keadilan menempuh pendidikan harus dapat diwujudkan dan dirasakan
siapa pun warga negara tanpa melihat kedudukan sosial maupun kondisi fisik
siswa.
Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945, dari ayat 1 sampai 5 menegaskan
bahwa, setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan pemerintah wajib
merealisasikan amanah konstitusi itu. Bahkan untuk mencapai tujuan UUD 1945
tersebut alokasi anggaran sebesar dua puluh persen dari APBN menjadi wajib
dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan pelaksanaan pendidikan.
Sayang, amanat konstitusi itu hanya manis dalam teks. Realisasinya
masih terjadi ketimpangan pendidikan dan diskriminasi terhadap warga negara.
Bukan saja warga miskin yang masih sukar mengakses pendidikan formal akibat
kendala biaya pendidikan mahal, namun ketidakadilan lain terjadi pada difabel
yang notabene juga pemilik sah bangsa ini.
Sejak awal belajar dan mencicipi manisnya bangku sekolah hingga
mengikuti Ujian Akhir Nasional, kebanyakan difabel merasakan ketidakadilan
dalam menempuh dunia pendidikan. Keberpihakkan sekolah dan pemerintah dalam
mendukung proses menuntut ilmu mereka masih dirasakan minim oleh difabel. Dalam
belajar, tak jarang difabel dipandang sebagai siswa normal yang mampu
menjalankan peraturan dan atau birokrasi sekolah secara wajar.
Meskipun para difabel tak meminta diperlakukan istimewa dan
mengharap belas kasih orang lain, namun, sejatinya mereka juga membutuhkan
perlakuan khusus dpihak sekolah dan pemerintah karena keterbatasan fisik
dimiliki. Apalagi ketika menghadapi UN seperti sekarang ini, di mana momen itu
begitu krusial karena sangat menentukan nasib mereka. Tentu tak mudah bagi
difabel mencapai target maksimal angka 5,5 apabila ingin lulus di tengah daya
dukung sekolah maupun pemerintah yang masih tergolong minim.
Hal itu terlihat jelas dalam UN 2012 ini. Di Karanganyar misal,
ditemukan soal UN yang beredar di sekolah-sekolah semua sama. Dalam arti lain,
penyeragaman soal menunjukkan bahwa hak-hak difabel yang semestinya dihormati
dan dihargai serta diwujudkan pemerintah namun justru hal itu diabaikan.
Tentu pemerintah tak bisa mengambil kebijakan sembrono seperti
itu. Apa bisa difabel mengerjakan soal UN seperti siswa lain yang secara fisik
normal? Jawabannya tentu tidak. Siswa normal secara fisik pastinya dapat
mengerjakan soal UN yang dibuat pemerintah. Tapi, bagi difabel mereka
membutuhkan soal bentuk lain yang sesuai dengan kebutuhan belajar mereka.
Maka dalam konteks itu dibutuhkan kebijakan khusus pemerintah
dalam memberikan soal UN terhadap difabel. Seperti pada tahun sebelumnya di
mana soal UN disediakan fasilitas huruf Braille sehingga
memudahkan kaum difabel mengerjakan test UN. Tapi, ironinya pada UN tahun ini
fasiltas itu tak lagi didapatkan difabel sehingga membuat Bupati Karanganyar
Rina Iriani kesal dan membuat surat protes pada Mendikbud Muhammad Nuh.
Kita tak berharap lagi pemerintah membuat kebijakan yang terkesan
mendeskreditkan difabel. Apa pun kondisi fisik difabel, mereka tetap warga
negara yang punya hak sama dengan siswa normal lain. Difabel juga belum tentu
lebih buruk dibanding siswa normal lain. Toh,telah banyak difabel
mengukir prestasi dan mengharumkan nama negeri dan mengangkat harkat dan
martabat bangsa melalui dunia pendidikan. DePorter (2007), mengatakan satu hal
penting dalam pendidikan adalah membangun rasa cinta pada siswa. (Abdul Rahmat,
2010). Untuk itu, sudahi diskriminasi terhadap difabel.
Agus Syahputra* Ketua Umum IKPM SUMSEL Yogyakarta 2012-2014.