Selamat Menunaikan Ibadah Puasa 1434 H

Mohon Maaf Lahir Dan Batin.

Foto Bersama Penari Binaan IKPM SUMSEL

Saat Tampil Pada Pringatan Hari Pendidikan Nasional Yang Diselenggarakan DIKTI.

Menjadi Pemateri

Saat Penerimaan Mahasiswa Baru UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Penyerahan Piala Begilir Kepada Komisariat OKU Selatan Sebagai Juara Umum

Pada HUT IKPM SUMSEL Ke-36 di Balai Sriwijaya Yogyakarta

Pages

Minggu, 18 Maret 2012

Waspadai Jurnal Abal-abal


      KEKHAWATIRAN insan akademik terhadap munculnya jurnal abal-abal sebagai konsekuensi logis kebijakan publikasi jurnal ilmiah adalah sesuatu yang tak dapat dihindari. Sesungguhnya, adanya jurnal abal-abal bukanlah hal diharapkan, tapi bukan tak mungkin itu dapat muncul jika benar kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ini jadi direalisasikan Agustus 2012.
       Respons munculnya jurnal abal-abal tak dapat diabaikan karena adanya faktor mendasar. Selain karena masih rendahnya budaya menulis, minimnya jurnal ilmiah yang ada di Indonesia juga menjadi pemicu. Karena jumlahnya sedikit, secara otomatis jurnal itu tak dapat menampung ribuan karya ilmiah mahasiswa dari tingkat SI sampai jenjang S3.
        Berdasarkan data Ditjen Dikti 2010, di Indonesia, dari 121 jurnal yang terakreditasi Ditjen Dikti, hanya ada dua jurnal ilmiah yang terakreditasi A, dan 26 jurnal ilmiah terakreditasi B. Bahkan menurut Dirjen Dikti, terbitan jurnal ilmiah Indonesia masih sepertujuh dari jurnal ilmiah Malaysia.
Keminiman jurnal ilmiah, dikhawatirkan tak dapat memenuhi kebutuhan perguruan tinggi dengan jumlah ribuan mahasiswa.
       Berdasarkan data Ditjen Dikti, saat ini terdapat 114 perguruan tinggi negeri dan 301 perguruan tinggi swasta. Dengan jumlah PT dan ribuan mahasiswa serta masih sedikitnya jurnal ilmiah terakreditasi tentu menyulitkan calon sarjana agar karyanya dapat dimuat di jurnal tersebut.
Dan mau tidak mau, mereka harus berkompetisi dengan ketat bersama calon sarjana lain agar karya ilmiahnya diterbitkan di jurnal (terakreditasi) ójika ingin lulus. Apalagi mahasiswa program magister dan doktor tantangannya tentu lebih kuat. Khusus program doktor, mereka wajib menguasai bahasa Inggris, tak hanya lisan tapi juga tulisan, bila ingin karya ilmiahnya dapat dipublikasikan di jurnal internasional.
       Di tengah kompetisi ketat ditambah minimnya jumlah jurnal ilmiah, apalagi yang terakreditasi Dikti, maka prediksi akan marak jurnal abal-abal suatu saat pasti akan terbukti. Ini patut dipikirkan Kemendibud. Harapannya, stakeholders pendidikan tak hanya fokus pada penetapan kebijakan jurnal ilmiah tapi luput perhatian akan maraknya jurnal abal-abal.
      Jika perhatian itu terabaikan Kemendibud, maka kebijakan jurnal ilmiah berujung paradoks. Artinya, harapan akan peningkatan mutu pendidikan nasional, menghindari praktik plagiasi, akan sia-sia. (24)

Agus Syahputra* Ketua Umum IKPM SUMSEL Yogyakarta 2012-2014.
Terbit Pada Suara Merdeka tanggal 17 Maret 2012
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/03/17/180475/Waspadai-Jurnal-Abal-abal

Rabu, 14 Maret 2012

Ironi Demokrasi Kampus


Kultur kampus kini banyak berubah. Parahnya perubahan itu justru berimbas pada eksistensi mahasiswa. Yakni keberadan mahasiswa yang mulai melempem terhadap situasi sosial yang terjadi di sekitaranya. Gerakan reformasi 1998 yang telah merubah jalan sejarah bangsa ini dan menunjukkan taring mahasiswa, tapi kilas balik sejarah itu kini kurang begitu berarti.
Padahal pasca peristiwa bersejarah itu, negeri ini sejatinya memasuki babak baru perjalanan sejarah sebuah bangsa. Jika di fase sebelumnya, rezim pembungkaman berjalan tanpa ada yang sanggup menghadang, tapi era reformasi telah membawa slogan mulia yang dikehendaki seluruh rakyat Indonesia, yakni demokrasi dan kebebasan.

Cita-cita demokrasi dan prinsip kebebasan di mana seluruh masyarakat memiliki kesadaran kolektif yakni mempunyai hak yang sama dalam menentukan nasib pribadi dan bangsanya dengan tetap berpegang pada norma dan etika berhembus di mana-mana, termasuk dalam dunia kampus yang dinamis. Bahkan, prinsip-prinsip demokrasi, yakni kebebasan menyatakan pendapat dijamin dalam konstitusi, yaitu UU No 9 tahun 1998.
 Di dalam dunia kampus misalnya, semangat demokrasi berjalan dalam potret kegiatan kemahasiswaan. Contoh: mahasiswa diberikan kebebasan melakukan berbagai kritik, pendapat, masukan terhadap berbagai problematika kampus yang terjadi. Tidak hanya itu saja, semangat demokrasi kampus terwujud dalam aksi demonstrasi mahasiswa, adanya pemilu/pemilwa mahasiswa untuk memilih ketua/presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), penggunaan istilah Presiden Mahasiswa yang di masa Soeharto kata “Presiden” hanya boleh digunakan oleh orang nomor wahid pada zaman Orba itu dan masih banyak lagi.
Sayang, prinsip demokrasi kampus yang telah berjalan lama itu, kini mulai dinodai dengan berbagai kebijakan birokrasi kampus yang sangat represif. Di Universitas Islam Negeri (UIN) Makassar misalnya, jika ditemukan (aktivis) mahasiswa melakukan aksi demonstrasi, pimpinan kampus/rektor dan jajarannya tak segan-segan memberikan sangsi tegas pada mahasiswa, baik berupa teguran hingga kebijakan DO (drop out).
Sementara itu, kita pun masih ingat di Yogyakarta—tepatnya di kampus Universitas Gajah Mada (UGM) terjadi pengebirian peran gerakan mahasiswa. BEM UGM melakukan demo terhadap kebijakan rektor yang memberlakukan biaya parkir kampus. Bagi mahasiswa yang melakukan aksi, kebijakan kampus itu dinilai sebagai wujud komersialisasi kampus. Artinya, segala hal yang dimiliki kampus, termasuk ruang publik oleh pemangku kebijakan di kampus itu ingin dibisniskan sebagai imbas dari adanya Badan Hukum Pendidikan (BHP). Tentunya, tindakan itu menjadi tamparan dunia pendidikan bukan saja bagi UGM yang dikenal sebagai kampus rakyat, tapi juga bagi institusi pendidikan negeri ini yang sudah mengarah kepada bentuk komersialisasi.
Di lain pihak, aksi demo tersebut oleh para stakeholders di kampus UGM, direspon secara “represif”, mirip dengan gaya Soeharto ketika ia berupaya memangkas peran politik mahasiswa di kampus. Yakni, meminta kepada presiden BEM UGM untuk menyerahkan nama-nama mahasiswa yang melakukan gerakan demonstrasi tersebut. Parahnya lagi, apabila nama-nama aktivis kampus yang ikut demo itu tak diserahkan pada rektor maka pihak birokrasi tidak akan memberikan dana bagi kegiatan kemahasiswaan.
Pertanyaannya, mengapa kebebasan berpendapat di kampus masih saja dilarang di tengah iklim reformasi yang menyatakan kebebasan itu dijamin konstitusi? Mengapa pula kampus bersikap anti kritik? Sungguh ironi, di saat iklim zaman demokrasi menuntut mahasiswa untuk berani menyatakan pendapatnya, tapi di saat yang sama pengebirian peran politik mahasiswa berlangsung di pelbagai kampus.
 Pada konteks inilah, penulis sekadar mengingatkan saja pada beberapa kampus yang masih bertindak represif dengan gerakan mahasiswa. Kita tentu masih ingat betul dalam memori kolektif bangsa ini akan peran mahasiswa yang sangat urgen dalam menentukan sebuah perubahan. Ketika mahasiswa ditindas, dengan segenap idealisme dan semangat perjuangan yang tinggi agen perubahan bangsa ini pasti akan melakukan perlawanan. Ingat tragedi penumbangan rezim Orde Lama (Orla) Soekarno, peristiwa Malapetaka Sebelas Januari (Malari) 1974, masalah NKK/BKK di mana mahasiswa dituntut oleh rezim agar back to campus dan tak ikut-ikut aktivitas politik, tragedi reformasi 1998—rentetan sejarah ini semua dipelopori (aktivis) mahasiswa.
Maka, sangat mengherankan sekali jika di era reformasi sekarang ini ruang gerak mahasiswa masih saja dikungkung dengan berbagai aturan birokrasi yang kaku. Apalagi, kebijakan itu justru dikeluarkan oleh pihak kampus yang semestinya bersikap kooperatif terhadap segala perbedaan pendapat dengan civitas akademika, termasuk dengan para demonstan mahasiswa.

Agus Syahputra* Ketua Umum IKPM SUMSEL Yogyakarta 2012-2014.

Sabtu, 03 Maret 2012

Pro-Kontra Jurnal Ilmiah

          Kontroversi kebijakan jurnal ilmiah menarik disimak. Seperti diketahui, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti), pada  27 Januari 2012 menerbitkan surat edaran bernomor 152/E/2012. Surat ini ditujukan kepada Rektor/Ketua/Direktur Perguruan Tinggi Negeri dan Perguran Tinggi Swasta di seluruh Indonesia.
Point penting kebijakan Dikti tersebut adalah sebelum lulus sarjana diharuskan menulis makalah pada jurnal ilmiah bagi S1. Di samping itu, bagi program master atau S2 wajib tulisannya dimuat pada jurnal ilmiah nasional yang terakreditasi Dikti. Sedangkan, program doktor atau S3 harus menerbitkan karya ilmiahnya di jurnal internasional.
Walhasil, kebijakan ini memancing silang pendapat masyarakat, apalagi kalangan akademisi. Polemik jurnal ilmiah terbelah pada dua kubu yang saling berbeda pendapat. Satu sisi langkah Kemendikbud itu diprediksi akan meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia dengan tolak ukur jumlah karya ilmiah yang dihasilkan.
Sebab, diketahui, hasil karya ilmiah mahasiswa di negeri ini terbilang cukup rendah. Thomson Scientific (dalam Resyalia, 2010), publikasi karya ilmuan Indonesia melalui jurnal internasional hanya berkisar 522, jauh di bawah Malaysia yang mencapai 1.428. Demikian pula dengan publikasi jurnal nasional dan lokal, juga masih minim. Pendeknya, dalam hal publikasi karya ilmiah di Perguruan Tinggi bangsa ini minim dibanding Negeri Jiran, hanya sekitar sepertujuh.
Maka, melalui kewajiban menulis di jurnal ilmiah, mahasiswa Indonesia diharapkan bisa meningkatkan karya ilmiahnya sekaligus mencegah plagiarisme. Tapi, di lain pihak, kebijakan tersebut bukan tak mungkin mendatangkan masalah krusial di PT. Karena infrastruktur yang tidak mendukung, seperti referensi buku, jurnal, majalah, internet, kurangnya kebiasaan menulis, dan lainnya—membuat mahasiswa sukar membuat makalah ilmiah sehingga bisa menghambat kelulusan dan menambah beban kampus.
Silang pendapat itu, hemat penulis adalah dinamika dalam kultur akademik. Namun, yang penting di tengah perbedaan persepsi itu adalah menyelesaikan masalah ini dengan pikiran rasional, ilmiah, dan kedalaman berpikir. Artinya, sebagai kaum intelektual, mempertimbangkan aspek manfaat dan kerugian dengan didasari tanggung jawab adalah keniscayaan.
Untuk itu, Kemendikbud, PT, civitas akademika dan pihak terkait, diharapkan duduk bareng mencarikan solusi terbaik atas polemik ini. Dalam proses pencarian solusi, usul saya, bila manfaatnya lebih besar, misal, mahasiswa kian terdorong menulis karya ilmiah, mengapa meributkan kebijakan jurnal ilmiah yang terkesan buang-buang waktu.    
Agus Syahputra* Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Dakwah UIN Suka Yogyakarta.

Menghidupkan Spirit Toleransi Islam



Judul Buku      : Berislam Secara Toleran
Penulis             : Irwan Masduqi
Penerbit           : Mizan
Tahun Terbit    : 2011
Tebal               : 310 halaman
Abad modern ditandai keringnya spirit religiusitas (Islam), memaksa kita untuk berpikir, apakah umat Islam menjalankan agama sesuai petunjuk kitab suci Al-Quran dan Sunnah Nabi secara holistik. Pertanyaan ini memang patut diajukan, mengingat dewasa kini, tragedi kemanusian kerap muncul dalam kehidupan kita dengan membawa legitimasi dan simbol hingga doktrin agama Islam.
Ingatan kelam kita masih segar ketika bom Bali mengguncang negeri ini. Teror dan peristiwa keji atas nama agama Islam terus terjadi dan menghantui kerukunan umat beragama. Di Pandeglang, Banten, kekerasan terhadap kelompok agama ditebus dengan darah dan nyawa. Di kota lain, Solo, bom bunuh diri terjadi di gereja. Dan kini, kekerasan, pertikaian, horor dengan legitimasi agama masih mengintai.
Pertanyaannya, apa yang sedang terjadi dengan umat Islam? Apakah Islam memang agama yang kerap mengumbar kekerasan, mengangkat pedang, intoleran dengan perbedaan, agama eksklusif, merasa benar sendiri. Selain itu, apakah kini, ayat-ayat perang lebih ditonjolkan dari pada menebar ajaran damai. Pendek kata, tampaknya citra Islam sebagai agama damai dan agama rahmatan lil’alamin telah mengalami reduksi, distorsi, dan bahkan politisasi tajam baik yang dilakukan dari dalam maupun oleh pihak luar Islam.
Stereotipe negatif yang dilekatkan pada Islam mendapat perhatian khusus dalam buku ini. Dengan pandangan, pembacaan dan perspektif tajam serta kritis yang dibangun dengan argumentasi cerdas atas realitas Islam kontemporer, Irwan Masduqi coba mendudukan wacana Islam kekinian dengan berbagai atribut maupun simbolisme kekerasan dalam diskursus menarik yang menggugah pikiran.
Irwan, melalui bukunya ini, paling tidak berupaya mendialogkan kembali realitas Islam di era postmodern. Selain itu, buku ini juga berikhtiar melacak akar tumbuhberkembangnya kekerasan yang membawa embel-embel agama. Karena diketahui, setiap agama, menurut John L. Esposito tak terkecuali Islam dapat berpotensi melahirkan kekerasan jika ajaran agama yang kaffah dipahami secara sempit dan fanatis(isme).
Bahkan, melampaui batas-batas itu, dengan perspektif politik bernas, penulis buku ini melihat politisasi citra Islam sebagai agama kekerasaan tak dapat dilepaskan karena faktor politik. Sejak 11 September 2001, tulis Karen Barkey (2005), sebagaimana dikutip M. Dawam Rahardjo, dalam pengantar buku ini, menyebutkan bahwa perhatian publik maupun dunia kesarjanaan terarah pada masalah hubungan antara Barat dan Islam dalam aspek perbedaannnya, terutama pada wilayah nilai-nilai sosial dan politik di mana agama merupakan titik fokusnya.
Buku ini sungguh menggelitik intetektual kita. Mengkaji Islam modern dengan streotipe negatif yang disematkan pada agama mayoritas di dunia ini. Tujuannya, untuk meluruskan pandangan umat manusia di dunia, bahwa Islam bukan agama teror. Melainkan, Islam diturunkan di bumi sebagai rahmat bagi semua golongan, Islam adalah agama toleran yang hidup di tengah pluralitas dan heterogenitas manusia. Ini adalah keniscayaan Islam.   

Agus Syahputra* Ketua Umum IKPM Sumsel Yogyakarta 2012-2014