Selamat Menunaikan Ibadah Puasa 1434 H

Mohon Maaf Lahir Dan Batin.

Foto Bersama Penari Binaan IKPM SUMSEL

Saat Tampil Pada Pringatan Hari Pendidikan Nasional Yang Diselenggarakan DIKTI.

Menjadi Pemateri

Saat Penerimaan Mahasiswa Baru UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Penyerahan Piala Begilir Kepada Komisariat OKU Selatan Sebagai Juara Umum

Pada HUT IKPM SUMSEL Ke-36 di Balai Sriwijaya Yogyakarta

Pages

Selasa, 31 Januari 2012

TUNTUT TRANSPARANSI ANGGARAN KAMPUS

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Bakar Ban di Gedung Rektorat


  Senin, 30 Januari 2012 | 10:59 WIB
Aksi demonstrasi mahasiswa UIN Sunan Kalijaga (Foto : Rani DL)

SLEMAN (KRjogja.com) - Aksi unjukrasa yang dilakukan Keluarga Besar Mahasiswa Universitas Islam Negeri (KMBMU) di Gedung UIN Sunan Kalijaga berlangsung ricuh. Massa yang menduduki gedung nekat membakar ban di dalam ruangan sehingga situasi memanas.

Aksi unjukrasa, Senin (30/1/2012) menuntut transparansi kebijakan anggaran pengelolaan kampus tersebut, semula berlangsung damai. Namun, emosi massa tersulut ketika pihak keamanan kampus berusaha mengamankan lokasi dengan memadamkan api. Massa juga makin tak terkendali ketika pihak kampus yakni Rektor dan Pembantu Rektor (PR) II tidak berhasil ditemui.

Koordinator aksi, Nurcholis, mengungkapkan, aksi bakar ban ini merupakan bentuk sikap mahasiswa yang menganggap kepemimpinan rektor, Musa Asy'ari, tidak memberikan efek positif terhadap kemajuan kampus. Terbukti dengan masih banyaknya hal yang ditutupi terutama terkait kebijakan anggaran maupun pengelolaan kampus.

"Kami telah meminta laporan pengeluaran anggaran kampus selama setahun, namun tidak direspon secara positif. Bahkan dipersulit untuk mengakses informasi terkait kebijakan dan pengeluaran keuangan di kampus," ujarnya.

Sikap kampus yang cenderung tertutup, lanjutnya, jelas sudah menyalahi aturan UU nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik. Terlebih UIN Sunan Kalijaga sebagai lembaga pendidikan yang menerima dana APBN, dan berbagai dana lain termasuk dari masyarakat, wajib menyampaikan laporan kepada publik.

"Tetapi faktanya, kampus tidak memberikan informasi pada publik baik melalui website maupun surat kabar. Bahkan sejak UU KIP disahkan sejak tahun 2008, UIN tidak pernah memberikan informasi atau laporan pada publik. Sudah jelas ini menyalahi aturan UU dan institusi negara," tuturnya.

Massa menilai, saat ini kampus UIN cenderung elitis dan hedonis. Diantaranya, penggunaan kendaraan mewah rektor dan petinggi kampus yang semakin menunjukkan bahwa institusi kampus tidak memberikan contoh kesederhanaan pada mahasiswa.

"Berdasarkan fakta diatas, kami menilai ada indikasi penyelewengan anggaran di lingkungan UIN Sunan Kalijaga dibawah kepemimpinan Musa Asy'ari. Kampus tidak akuntabel pada publik. Kami menuntut UIN kembali menjadi kampus rakyat, audit pengadaan barang dan jasa UIN serta transparasi kebijakan pengelolaan anggaran," tandasnya.

Aksi bakar ban yang diwarnai dengan saling dorong antara pihak keamanan kampus dan mahasiswa kemudian berhasil ditertibkan dengan pemadaman api. Meski demikian, massa mengancam tetap akan kembali menduduki rektorat jika tuntutan mereka tidak terpenuhi. (Aie)
http://krjogja.com/read/116710/mahasiswa-uin-sunan-kalijaga-bakar-ban-di-gedung-rektorat.kr

Minggu, 29 Januari 2012

Karma Wakil Rakyat

Ujian berat, kini, dihadapi 12 mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DIY periode 1999-2004. Setelah tidak menjabat, para wakil rakyat itu dililit kasus Dana Purna Tugas (DPT). Dalam kasus ini, anggota DPRD tersebut ditengarai telah melakukan kejahatan negara, yakni penyelewengan anggaran negara senilai 3 miliar.
Kasus tersebut telah menggemparkan Yogyakarta, dan negeri ini. Borok DPRD terbongkar setelah mereka demisioner dari jabatan empuk. Kini, masyarakat semua tahu, korupsi berjamaah di lingkungan elit legislatif di daerah ini, betul-betul terjadi. Ibarat bangkai yang sebelumnya ditutupi, tapi kini menebar aroma busuk ke khalayak.
Cerita penyelewengan anggaran dilakukan anggota legislatif sejatinya adalah kasus klise. Dalam arti, peristiwa semacam ini berlangsung lama dan hampir terjadi di hampir semua lembaga legislatif di negeri berpenduduk 230 juta jiwa. Hanya saja, terbongkarnya kasus 12 mantan anggota DPRD Yogyakarta, karena mungkin mereka sedang sial saja.
 Penyalahgunaan kekuasaan, hemat penulis, sebetulnya menjadi kata kunci mengapa korupsi anggaran terjadi di dalam institusi legislatif. Kata korupsi, bukan kesalahan mengelola anggaran, yang penulis gunakan untuk menunjukkan bahwa kejahatan uang dalam lingkaran wakil rakyat terjadi secara sistematis dan berjamaah. Mereka (baca: DPRD), menggunakan pilihan diksi halus hanya ingin menutupi kebusukkan wakil rakyat. Misalnya, dengan beralibi dan berdalih, bahwa kasus tersebut terjadi akibat kelalaian mantan anggota DPRD Jogja dalam mengelola kebijakan anggaran.
Menurut saya, itu hanya bagian dari permainan atau politik bahasa untuk memberikan makna berbeda. Namun, yang jelas mereka terbukti melakukan kejahatan keuangan negara. Jika ditelisik dengan jeli, pangkal korupsi berjamaah di dalam wakil rakyat, akibat terbukanya ruang yang bebas bagi DPR(D) melalui fungsi normatif.
Kita tahu, DPR(D) secara legal-formal, salah satunya memiliki fungsi penganggaran. Karena kekuasaan inilah, kerap para anggota dewan melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Penyimpangan itu terjadi akibat didorong hasrat menumpuk kekayaan, mengembalikan biaya politik saat kampanye menjadi wakil rakyat, setor ke partai, libido serta syahwat kekuasaan pribadi, dan sebagainya.
Demi mencapai tujuan tersebut, para wakil rakyat menghalalkan berbagai cara. Termasuk melakukan penyalahan fungsi anggaran yang menjadi kewenangan kerja DPR(D). Tampaknya, hal itulah yang terjadi dengan 12 anggota DPRD DIY. Kekuasaan yang sementara digunakan pada tujuan yang salah. Uang rakyat diselewengkan demi memenuhi kepentingan individu, kelompok, maupun parpol.
Dan, kini, mereka seolah mendapat hukuman karma dari tindakan busuknya di masa lalu. Mahkamah Agung membuktikkan para mantan anggota dewan tersebut terbukti bersalah dan tinggal menunggu keputusan eksekusi. Mereka akan dihadapkan pada palu hukum dan keadilan yang menjadi panglima di republik ini.
Keadilan hukum yang tidak melihat bulu lagi. Entah ia punya kuasa, tahta, modal, maupun kekuasaan, jika terbukti bersalah hukum harus ditegakkan. Dalam bahasa lain, hukum tidak boleh tebang pilih. Yang salah masuk penjara. Yang benar mendapat keadilan. Dengan begitu, keadilan di negeri ini tidak lagi menjadi barang langka, semu, tapi benar terwujud. Semoga! 
Agus Syahputra* Ketua Umum IKPM SUMSEL Yogyakarta 2012-2014.
Suara Mahasiswa (HARJO 17/01/2012)  

Sondang dan Ironi Demokrasi

Oleh: Agus Syahputra*
Protes sah-sah dilakukan. Apalagi di alam demokrasi. Ruang di mana ekspresi individu maupun kelompok dihadirkan. Tapi, alam demokrasi memiliki rambu-rambu yang juga mesti ditaati. Di dalam demokrasi terdapat norma, etika, moral, dan nilai etis lain—yang semestinya dijunjung tinggi.
Dalam konteks kasus Sondang, sesungguhnya ekspresi berlebihan ditunjukkan dalam alam demokrasi. Kita sama-sama mafhum, anarkisme, radikalisme, aksi brutal dan sejenisnya tidak mendapat pembenaran dalam sistem demokrasi. Aksi bakar diri telah menabrak norma dan moral demokrasi.
Iklim demokrasi menghendaki, segala pendapat dapat disampaikan dengan cara arif, bijak, bahkan elegan. Terlebih jika ide, gagasan, kritikan itu disampaikan oleh (aktivis) mahasiswa, seperti Sondang. Saya tak bermaksud menggurui dan menyalahkan, sebetulnya ada ruang dan cara yang lebih beretika dalam menyuarakan kritik sosial terhadap berbagai ketimpangan di negeri ini, tanpa harus membakar diri.
Seperti diketahui, di mata masyarakat luas, mahasiswa adalah kelompok sosial yang kerap dipandang oleh masyarakat lain. Karena statusnya itu, tak pelak mahasiswa menjadi teladan bagi kelompok lain. Termasuk ketika ia mengeluarkan pendapat, berekspresi terhadap kebobrokan pemerintahan yang belakangan menjadi sorotan publik.
Lantas, apakah layak tindakan Sondang ditiru oleh kelompok masyarakat lain? Penulis pikir, kita semua tahu jawabannya. Apapun alasannya cara yang dilakukan mahasiswa Universitas Bung Karno itu dalam memprotes ketimbangan sosial di Republik ini tidak dapat dibenarkan. Dengan bahasa lain, demokrasi mengharamkan tindakan brutal—dengan cara apapun.
Kultur demokrasi, dalam berbagai literatur, menghendaki berbagai pendapat baik yang pro atau kontra dapat diekspresikan dengan cara elegan. Apalagi, dilakukan mahasiswa. Sebagai agen perubahan bangsa, kritik konstruktif nan cerdas dan jauh dari tradisi kekerasan adalah pilihan dilakukan mahasiswa. Contoh dengan cara negosiasi, diplomasi, menulis, demonstrasi, konsolidasi massa—tapi dengan catatan minus kekerasan.
Ekspresi demokrasi seperti inilah yang sejatinya dilakukan mahasiswa seperti Sondang. Bukan dengan bakar diri yang terkesan mencerminkan kefrustasian. Perjuangan menegakkan demokrasi substansi di negeri ini, tanpa penindasan, terwujudnya keadilan sosial memang tak mudah. Tapi, jalan terjal demokrasi, mesti dilewati dengan cara-cara beradab, bukan biadab—yang hanya membuat ironi demokrasi.

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/01/14/173547/Sondang-dan-Ironi-Demokrasi