Oleh: Agus Syahputra*
Protes sah-sah dilakukan. Apalagi di alam
demokrasi. Ruang di mana ekspresi individu maupun kelompok dihadirkan.
Tapi, alam demokrasi memiliki rambu-rambu yang juga mesti ditaati. Di
dalam demokrasi terdapat norma, etika, moral, dan nilai etis lain—yang
semestinya dijunjung tinggi.
Dalam konteks kasus Sondang, sesungguhnya
ekspresi berlebihan ditunjukkan dalam alam demokrasi. Kita sama-sama
mafhum, anarkisme, radikalisme, aksi brutal dan sejenisnya tidak
mendapat pembenaran dalam sistem demokrasi. Aksi bakar diri telah
menabrak norma dan moral demokrasi.
Iklim demokrasi menghendaki, segala
pendapat dapat disampaikan dengan cara arif, bijak, bahkan elegan.
Terlebih jika ide, gagasan, kritikan itu disampaikan oleh (aktivis)
mahasiswa, seperti Sondang. Saya tak bermaksud menggurui dan
menyalahkan, sebetulnya ada ruang dan cara yang lebih beretika dalam
menyuarakan kritik sosial terhadap berbagai ketimpangan di negeri ini,
tanpa harus membakar diri.
Seperti diketahui, di mata masyarakat
luas, mahasiswa adalah kelompok sosial yang kerap dipandang oleh
masyarakat lain. Karena statusnya itu, tak pelak mahasiswa menjadi
teladan bagi kelompok lain. Termasuk ketika ia mengeluarkan pendapat,
berekspresi terhadap kebobrokan pemerintahan yang belakangan menjadi
sorotan publik.
Lantas, apakah layak tindakan Sondang
ditiru oleh kelompok masyarakat lain? Penulis pikir, kita semua tahu
jawabannya. Apapun alasannya cara yang dilakukan mahasiswa Universitas
Bung Karno itu dalam memprotes ketimbangan sosial di Republik ini tidak
dapat dibenarkan. Dengan bahasa lain, demokrasi mengharamkan tindakan
brutal—dengan cara apapun.
Kultur demokrasi, dalam berbagai
literatur, menghendaki berbagai pendapat baik yang pro atau kontra dapat
diekspresikan dengan cara elegan. Apalagi, dilakukan mahasiswa. Sebagai
agen perubahan bangsa, kritik konstruktif nan cerdas dan jauh dari
tradisi kekerasan adalah pilihan dilakukan mahasiswa. Contoh dengan
cara negosiasi, diplomasi, menulis, demonstrasi, konsolidasi massa—tapi
dengan catatan minus kekerasan.
Ekspresi demokrasi seperti inilah yang
sejatinya dilakukan mahasiswa seperti Sondang. Bukan dengan bakar diri
yang terkesan mencerminkan kefrustasian. Perjuangan menegakkan demokrasi
substansi di negeri ini, tanpa penindasan, terwujudnya keadilan sosial
memang tak mudah. Tapi, jalan terjal demokrasi, mesti dilewati dengan
cara-cara beradab, bukan biadab—yang hanya membuat ironi demokrasi.http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/01/14/173547/Sondang-dan-Ironi-Demokrasi
0 komentar:
Posting Komentar