Pages

Minggu, 29 Januari 2012

Sondang dan Ironi Demokrasi

Oleh: Agus Syahputra*
Protes sah-sah dilakukan. Apalagi di alam demokrasi. Ruang di mana ekspresi individu maupun kelompok dihadirkan. Tapi, alam demokrasi memiliki rambu-rambu yang juga mesti ditaati. Di dalam demokrasi terdapat norma, etika, moral, dan nilai etis lain—yang semestinya dijunjung tinggi.
Dalam konteks kasus Sondang, sesungguhnya ekspresi berlebihan ditunjukkan dalam alam demokrasi. Kita sama-sama mafhum, anarkisme, radikalisme, aksi brutal dan sejenisnya tidak mendapat pembenaran dalam sistem demokrasi. Aksi bakar diri telah menabrak norma dan moral demokrasi.
Iklim demokrasi menghendaki, segala pendapat dapat disampaikan dengan cara arif, bijak, bahkan elegan. Terlebih jika ide, gagasan, kritikan itu disampaikan oleh (aktivis) mahasiswa, seperti Sondang. Saya tak bermaksud menggurui dan menyalahkan, sebetulnya ada ruang dan cara yang lebih beretika dalam menyuarakan kritik sosial terhadap berbagai ketimpangan di negeri ini, tanpa harus membakar diri.
Seperti diketahui, di mata masyarakat luas, mahasiswa adalah kelompok sosial yang kerap dipandang oleh masyarakat lain. Karena statusnya itu, tak pelak mahasiswa menjadi teladan bagi kelompok lain. Termasuk ketika ia mengeluarkan pendapat, berekspresi terhadap kebobrokan pemerintahan yang belakangan menjadi sorotan publik.
Lantas, apakah layak tindakan Sondang ditiru oleh kelompok masyarakat lain? Penulis pikir, kita semua tahu jawabannya. Apapun alasannya cara yang dilakukan mahasiswa Universitas Bung Karno itu dalam memprotes ketimbangan sosial di Republik ini tidak dapat dibenarkan. Dengan bahasa lain, demokrasi mengharamkan tindakan brutal—dengan cara apapun.
Kultur demokrasi, dalam berbagai literatur, menghendaki berbagai pendapat baik yang pro atau kontra dapat diekspresikan dengan cara elegan. Apalagi, dilakukan mahasiswa. Sebagai agen perubahan bangsa, kritik konstruktif nan cerdas dan jauh dari tradisi kekerasan adalah pilihan dilakukan mahasiswa. Contoh dengan cara negosiasi, diplomasi, menulis, demonstrasi, konsolidasi massa—tapi dengan catatan minus kekerasan.
Ekspresi demokrasi seperti inilah yang sejatinya dilakukan mahasiswa seperti Sondang. Bukan dengan bakar diri yang terkesan mencerminkan kefrustasian. Perjuangan menegakkan demokrasi substansi di negeri ini, tanpa penindasan, terwujudnya keadilan sosial memang tak mudah. Tapi, jalan terjal demokrasi, mesti dilewati dengan cara-cara beradab, bukan biadab—yang hanya membuat ironi demokrasi.

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/01/14/173547/Sondang-dan-Ironi-Demokrasi

0 komentar:

Posting Komentar