Pages

Minggu, 29 Januari 2012

Karma Wakil Rakyat

Ujian berat, kini, dihadapi 12 mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DIY periode 1999-2004. Setelah tidak menjabat, para wakil rakyat itu dililit kasus Dana Purna Tugas (DPT). Dalam kasus ini, anggota DPRD tersebut ditengarai telah melakukan kejahatan negara, yakni penyelewengan anggaran negara senilai 3 miliar.
Kasus tersebut telah menggemparkan Yogyakarta, dan negeri ini. Borok DPRD terbongkar setelah mereka demisioner dari jabatan empuk. Kini, masyarakat semua tahu, korupsi berjamaah di lingkungan elit legislatif di daerah ini, betul-betul terjadi. Ibarat bangkai yang sebelumnya ditutupi, tapi kini menebar aroma busuk ke khalayak.
Cerita penyelewengan anggaran dilakukan anggota legislatif sejatinya adalah kasus klise. Dalam arti, peristiwa semacam ini berlangsung lama dan hampir terjadi di hampir semua lembaga legislatif di negeri berpenduduk 230 juta jiwa. Hanya saja, terbongkarnya kasus 12 mantan anggota DPRD Yogyakarta, karena mungkin mereka sedang sial saja.
 Penyalahgunaan kekuasaan, hemat penulis, sebetulnya menjadi kata kunci mengapa korupsi anggaran terjadi di dalam institusi legislatif. Kata korupsi, bukan kesalahan mengelola anggaran, yang penulis gunakan untuk menunjukkan bahwa kejahatan uang dalam lingkaran wakil rakyat terjadi secara sistematis dan berjamaah. Mereka (baca: DPRD), menggunakan pilihan diksi halus hanya ingin menutupi kebusukkan wakil rakyat. Misalnya, dengan beralibi dan berdalih, bahwa kasus tersebut terjadi akibat kelalaian mantan anggota DPRD Jogja dalam mengelola kebijakan anggaran.
Menurut saya, itu hanya bagian dari permainan atau politik bahasa untuk memberikan makna berbeda. Namun, yang jelas mereka terbukti melakukan kejahatan keuangan negara. Jika ditelisik dengan jeli, pangkal korupsi berjamaah di dalam wakil rakyat, akibat terbukanya ruang yang bebas bagi DPR(D) melalui fungsi normatif.
Kita tahu, DPR(D) secara legal-formal, salah satunya memiliki fungsi penganggaran. Karena kekuasaan inilah, kerap para anggota dewan melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Penyimpangan itu terjadi akibat didorong hasrat menumpuk kekayaan, mengembalikan biaya politik saat kampanye menjadi wakil rakyat, setor ke partai, libido serta syahwat kekuasaan pribadi, dan sebagainya.
Demi mencapai tujuan tersebut, para wakil rakyat menghalalkan berbagai cara. Termasuk melakukan penyalahan fungsi anggaran yang menjadi kewenangan kerja DPR(D). Tampaknya, hal itulah yang terjadi dengan 12 anggota DPRD DIY. Kekuasaan yang sementara digunakan pada tujuan yang salah. Uang rakyat diselewengkan demi memenuhi kepentingan individu, kelompok, maupun parpol.
Dan, kini, mereka seolah mendapat hukuman karma dari tindakan busuknya di masa lalu. Mahkamah Agung membuktikkan para mantan anggota dewan tersebut terbukti bersalah dan tinggal menunggu keputusan eksekusi. Mereka akan dihadapkan pada palu hukum dan keadilan yang menjadi panglima di republik ini.
Keadilan hukum yang tidak melihat bulu lagi. Entah ia punya kuasa, tahta, modal, maupun kekuasaan, jika terbukti bersalah hukum harus ditegakkan. Dalam bahasa lain, hukum tidak boleh tebang pilih. Yang salah masuk penjara. Yang benar mendapat keadilan. Dengan begitu, keadilan di negeri ini tidak lagi menjadi barang langka, semu, tapi benar terwujud. Semoga! 
Agus Syahputra* Ketua Umum IKPM SUMSEL Yogyakarta 2012-2014.
Suara Mahasiswa (HARJO 17/01/2012)  

0 komentar:

Posting Komentar