Ujian berat, kini, dihadapi 12 mantan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DIY periode 1999-2004. Setelah tidak
menjabat, para wakil rakyat itu dililit kasus Dana Purna Tugas (DPT).
Dalam kasus ini, anggota DPRD tersebut ditengarai telah melakukan
kejahatan negara, yakni penyelewengan anggaran negara senilai 3 miliar.
Kasus tersebut telah menggemparkan Yogyakarta, dan
negeri ini. Borok DPRD terbongkar setelah mereka demisioner dari jabatan
empuk. Kini, masyarakat semua tahu, korupsi berjamaah di lingkungan
elit legislatif di daerah ini, betul-betul terjadi. Ibarat bangkai yang
sebelumnya ditutupi, tapi kini menebar aroma busuk ke khalayak.
Cerita penyelewengan anggaran dilakukan anggota
legislatif sejatinya adalah kasus klise. Dalam arti, peristiwa semacam
ini berlangsung lama dan hampir terjadi di hampir semua lembaga
legislatif di negeri berpenduduk 230 juta jiwa. Hanya saja,
terbongkarnya kasus 12 mantan anggota DPRD Yogyakarta, karena mungkin
mereka sedang sial saja.
Penyalahgunaan kekuasaan, hemat penulis, sebetulnya
menjadi kata kunci mengapa korupsi anggaran terjadi di dalam institusi
legislatif. Kata korupsi, bukan kesalahan mengelola anggaran, yang
penulis gunakan untuk menunjukkan bahwa kejahatan uang dalam lingkaran
wakil rakyat terjadi secara sistematis dan berjamaah. Mereka (baca:
DPRD), menggunakan pilihan diksi halus hanya ingin menutupi kebusukkan
wakil rakyat. Misalnya, dengan beralibi dan berdalih, bahwa kasus
tersebut terjadi akibat kelalaian mantan anggota DPRD Jogja dalam
mengelola kebijakan anggaran.
Menurut saya, itu hanya bagian dari permainan atau
politik bahasa untuk memberikan makna berbeda. Namun, yang jelas mereka
terbukti melakukan kejahatan keuangan negara. Jika ditelisik dengan
jeli, pangkal korupsi berjamaah di dalam wakil rakyat, akibat terbukanya
ruang yang bebas bagi DPR(D) melalui fungsi normatif.
Kita tahu, DPR(D) secara legal-formal, salah satunya
memiliki fungsi penganggaran. Karena kekuasaan inilah, kerap para
anggota dewan melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Penyimpangan itu
terjadi akibat didorong hasrat menumpuk kekayaan, mengembalikan biaya
politik saat kampanye menjadi wakil rakyat, setor ke partai, libido
serta syahwat kekuasaan pribadi, dan sebagainya.
Demi mencapai tujuan tersebut, para wakil rakyat
menghalalkan berbagai cara. Termasuk melakukan penyalahan fungsi
anggaran yang menjadi kewenangan kerja DPR(D). Tampaknya, hal itulah
yang terjadi dengan 12 anggota DPRD DIY. Kekuasaan yang sementara
digunakan pada tujuan yang salah. Uang rakyat diselewengkan demi
memenuhi kepentingan individu, kelompok, maupun parpol.
Dan, kini, mereka seolah mendapat hukuman karma dari
tindakan busuknya di masa lalu. Mahkamah Agung membuktikkan para mantan
anggota dewan tersebut terbukti bersalah dan tinggal menunggu keputusan
eksekusi. Mereka akan dihadapkan pada palu hukum dan keadilan yang
menjadi panglima di republik ini.
Keadilan hukum yang tidak melihat bulu lagi. Entah ia
punya kuasa, tahta, modal, maupun kekuasaan, jika terbukti bersalah
hukum harus ditegakkan. Dalam bahasa lain, hukum tidak boleh tebang
pilih. Yang salah masuk penjara. Yang benar mendapat keadilan. Dengan
begitu, keadilan di negeri ini tidak lagi menjadi barang langka, semu,
tapi benar terwujud. Semoga!
Agus Syahputra*
Ketua Umum IKPM SUMSEL Yogyakarta 2012-2014.
Suara Mahasiswa (HARJO 17/01/2012)
Suara Mahasiswa (HARJO 17/01/2012)
0 komentar:
Posting Komentar