Foto: Munarsih
Aliansi Mahasiswa Papua di Yogyakarta bekerjasama dengan Senat
Mahasiswa Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga,
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan Solidaritas Anak
Bangsa Untuk Kemanusiaan, selama beberapa hari hingga Sabtu menggelar
serangkaian acara, termasuk diskusi dan pameran foto kekerasan di
berbagai tempat di Indonesia.
Roni Simatupang dari PMII mengatakan, pameran foto di kampus UIN Sunan Kalijaga meliputi potret kekerasan yang dilakukan aparat maupun kekerasan yang terjadi antarwarga, bertujuan memberikan kesadaran kepada masyarakat agar menjauhi praktek kekerasan.
“Yang paling krusial, bagaimana setiap warga Negara memahami keberadaan dia di antara orang lain, dan orang lain bagi orang lain. Jadi tidak hanya kekerasan vertikal saja tetapi yang horizontal ini jauh lebih berbahaya sebenarnya yang terjadi di Indonesia ini,” papar Roni Simatupang.
Sementara, Martin dari Aliansi Mahasiswa Papua berpendapat, apa yang terjadi di Papua saat ini menunjukkan bahwa Negara gagal memberikan perlindungan kepada warganya sendiri.
“Pemerintah telah gagal melindungi dia punya masyarakat sendiri, artinya justri kita membuat masyarakat justru merasa tertekan, merasa ketakutan sehingga mereka tidak bias melakukan aktifitas-aktifitas untuk menunjang kehidupan sehari-hari sehingga kekerasan di tanah Papua terus tumbuh, dilakukan oleh siapapun," ujar Martin.
Sementara itu, dari refleksi atas Kekerasan Terhadap Perempuan Sebagai Pelanggaran HAM, Chaerul Anam, mahasiswa dan peneliti Pusat Studi Agama dan Budaya (Center for Religious and Cultural Studies) UGM mengemukakan hasil penelitiannya. Yaitu, sejumlah sekolah tingkat SMP dan SMA negeri dan swasta di Yogyakarta melakukan kekerasan berbasis agama Islam terhadap para siswa perempuan.
“Kebanyakan dari sekolah-sekolah itu memberlakukan peraturan yang menurut mereka Islami seperti kewajiban untuk mengenakan jilbab yang besar, ada kewajiban untuk shalat dan shalat itu bukan untuk kewajiban agama tetapi mereka memberlakukan absen (presensi), menggunakan absen kalau mau shalat dan itu berpengaruh pada kenaikan kelas. (Sehingga) siswa memiliki pemikiran bahwa, saya memang dipaksa sekarang tapi dipaksa untuk masuk surga daripada saya masuk neraka dengan sukarela,” kata Chaerul Anam memberi contoh kasus pelanggaran HAM dari hasil penelitiannya.
Gina, seorang guru sekolah Katholik mengatakan, ia telah dipaksa mundur dari pekerjaannya karena ia dituduh sebagai seorang lesbian akibat kedekatannya dengan salah satu siswa perempuan.
“Saya diajak ngomong sama Kepala Sekolah saat itu. Ditanya apakah ada hubungan spesial, perasaan anda seperti apa, anda tahu nggak ini sekolah Katholik yang besar, dan ayah dari anak ini memprotes keras meminta anda sebagai guru dikeluarkan. Terus terang sekolah tidak akan membela. Kalau anda lesbian lebih baik menikah dan terus tetap bisa kerja disini,” demikian tutur Gina.
Roni Simatupang dari PMII mengatakan, pameran foto di kampus UIN Sunan Kalijaga meliputi potret kekerasan yang dilakukan aparat maupun kekerasan yang terjadi antarwarga, bertujuan memberikan kesadaran kepada masyarakat agar menjauhi praktek kekerasan.
“Yang paling krusial, bagaimana setiap warga Negara memahami keberadaan dia di antara orang lain, dan orang lain bagi orang lain. Jadi tidak hanya kekerasan vertikal saja tetapi yang horizontal ini jauh lebih berbahaya sebenarnya yang terjadi di Indonesia ini,” papar Roni Simatupang.
Sementara, Martin dari Aliansi Mahasiswa Papua berpendapat, apa yang terjadi di Papua saat ini menunjukkan bahwa Negara gagal memberikan perlindungan kepada warganya sendiri.
“Pemerintah telah gagal melindungi dia punya masyarakat sendiri, artinya justri kita membuat masyarakat justru merasa tertekan, merasa ketakutan sehingga mereka tidak bias melakukan aktifitas-aktifitas untuk menunjang kehidupan sehari-hari sehingga kekerasan di tanah Papua terus tumbuh, dilakukan oleh siapapun," ujar Martin.
Sementara itu, dari refleksi atas Kekerasan Terhadap Perempuan Sebagai Pelanggaran HAM, Chaerul Anam, mahasiswa dan peneliti Pusat Studi Agama dan Budaya (Center for Religious and Cultural Studies) UGM mengemukakan hasil penelitiannya. Yaitu, sejumlah sekolah tingkat SMP dan SMA negeri dan swasta di Yogyakarta melakukan kekerasan berbasis agama Islam terhadap para siswa perempuan.
“Kebanyakan dari sekolah-sekolah itu memberlakukan peraturan yang menurut mereka Islami seperti kewajiban untuk mengenakan jilbab yang besar, ada kewajiban untuk shalat dan shalat itu bukan untuk kewajiban agama tetapi mereka memberlakukan absen (presensi), menggunakan absen kalau mau shalat dan itu berpengaruh pada kenaikan kelas. (Sehingga) siswa memiliki pemikiran bahwa, saya memang dipaksa sekarang tapi dipaksa untuk masuk surga daripada saya masuk neraka dengan sukarela,” kata Chaerul Anam memberi contoh kasus pelanggaran HAM dari hasil penelitiannya.
Gina, seorang guru sekolah Katholik mengatakan, ia telah dipaksa mundur dari pekerjaannya karena ia dituduh sebagai seorang lesbian akibat kedekatannya dengan salah satu siswa perempuan.
“Saya diajak ngomong sama Kepala Sekolah saat itu. Ditanya apakah ada hubungan spesial, perasaan anda seperti apa, anda tahu nggak ini sekolah Katholik yang besar, dan ayah dari anak ini memprotes keras meminta anda sebagai guru dikeluarkan. Terus terang sekolah tidak akan membela. Kalau anda lesbian lebih baik menikah dan terus tetap bisa kerja disini,” demikian tutur Gina.
0 komentar:
Posting Komentar